Sabtu, 08 Januari 2011

Mukaddimah

Islam adalah agama yang sempurna, dan Islam pun telah mengatur segala sendi kehidupan, tidak hanya soal akidah, ritual ubudiyah (ritual keagamaan) saja tetapi juga sampai mengatur urusan muamalah (kemasyarakatan). Sehingga tidak salah jika Islam merupakan merupakan rahmatallilalamin (rahmat seluruh alam), Allah SWT berfirman:
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS Al Israa:107).
Allah SWT juga berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama (Islam) untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku, bagimu dan telah Ku ridhai Islam sebagai Agamamu” (QS Al Maidah:4)
Al Qur’an sebagai firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW oleh malaikat Jibril merupakan implementasi dari sumber hukum dan sekaligus sebagai pedoman kehidupan manusia sejak masa awal diturunkan telah menekankan perhatian yang mendalam terhadap masalah muamalah (terutama terhadap, sosial ekonomi). Dalam konteks ini Al Qur’an hendak mewujudkan pesan keserasian dan keseimbangan dalam segala aspek yaitu sebuah tatanan muamalah (sosial, ekonomi) di dalam masyarakat, selain itu berusaha melindungi lapisan masyarakat lemah dengan menghilangkan upaya eksploitasi dari pihak-pihak yang kuat. Pada prinsipnya, Al Qur’an mengutuk praktek riba yang pada hakikatnya hanya menjadikan tanggungan bagi sipeminjam (debitur) dalam naluri hutangnya yang juga berarti menyengsarakan peminjam (debitur) sebagai akibat dan hutang yang berlipat ganda setelah melampaui batasa waktu yang ditentukan. Sehingga menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat.
Allah SWT berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah : 275)
Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda jauhilah olehmu tujuh parkara yang membinasakan, maka ditanyakanlah hal tersebut kepada beliau “Wahai Rasulullah apa saja perkara-perkara itu ? Beliau menjawab” Berbuat syirik kepada Allah SWT, (melakukan) sihir, membunuh jiwa tanpa alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari berkecamuknya peperangan, dan menuduh (berzina) terhadap perempuan mukminat yang telah bersuami (HR Muslim dan Imam Malik)
Dalam konteks ini keterkaitan riba ditindakan sebagai sesuatu yang berlipat ganda yang oleh Al Qur’an di tetapkan perhatian dalam perspektif moral. Dalam hukum Islam, dalam menentukan apakah sesuatu tersebut adalah termasuk riba atau bukan, para utama tampaknya dalam sudah saling sepakat tentang keharaman riba dan hal-hal yang termasuk didalamnya, namun yang masih menjadi perdebatan dan perbedaan yakni yang menyangkut situasi dan kondisi ketika transaksi dilaksanakan, bentuk transaksi, serta tempat dan tujuan sebagai jalan tengah atas permasalahan tersebut memungkinkan menggunakan hiyal.
Dalam sejarah Islam, umat Islam telah mampu membentuk sebuah sistem keuangan tanpa peran bunga dalam memobilisasi sumber-sumber keuangan untuk membiayai usaha produktif dan pemenuhan kebutuhan hidup. Sistem yang di pakai untuk membiayai aktivitas bisnis didasarkan pada konsep bagi hasil melalui modul pembiayaan mudharabah (kemitraan pasif) dan musyakah (kemitraan aktif) jual beli tangguhan dan pinjaman tanpa bunga (qurud hasan) juga dipakai untuk pembiayaan konsumtif dan transaksi bisnis, hal ini seperti yang bisa kita tengok di masa Rasulullah dan para sahabatnya dulu. Sistem ini terus berjalan dan berkembang secara efektif semenjak zaman keemasan peradaban Islam dan beberapa abad sesudahnya kedua modal pembiayaan tersebut telah membantu mobilisasi untuk membiayai pertanian, kerajinan, manufaktur, serta proyek jangka panjang hal ini dapat dibuktikan dan ditanda dengan banyaknya orang yang memiliki uang dan logam mulai tanpa sama sekali berhubungan denga riba dan bunga.
Pada masa kebuasaan khalifah bani Abasiyah para pemodal (Sarraf) telah mempraktekkan beberapa fungsi dasar perbaikan moderen. Mereka memiliki beberapa pasar sendiri, yang kurang lebih sama dengan apa yang di praktikan di Wall Street New York, dan Humbard Street di London. Bahkan mereka telah mempraktekkan fungsi dasar perbankan untuk mendukug kegiatan perdagangan, industri, pertanian dengan teknologi yang ada pada masa itu, meskipun dalam beberapa hal, tidak sama dengan praktek perbankan moderen, seiring dengan mundurnya peradaban Islam puncaknya terjadi pada penjarahan dan pengrusakan Bagdad oleh tentara Mongol kemudian terjadi sebuah kemunduran dikalangan umat Islam, hal ini berpengaruh juga pada sistem ekonomi yang berbasis syariah, dan seiring dengan ekspansi bangsa barat ke dunia Islam telah membawa dampak yang juga tidak kalah berpengaruh dalam ekonomi Islam)*.
Pada dasarnya prinsip keuangan sejarah di dasarkan pada prinsip haramnya riba dan bunga. Dalam pandangan jumhur ulama masa kini bungan hanyalah salah satu dari bentuk-bentuk riba yang dilarang. Bunga pada dasarnya adalah bentuk nyata dari riba nasiah. hal ini berarti kebanyakan sistem keuangan konvensional yang sering kita pelajari dan gunakan sebagian besar adalah tidak sesuai dengan syariat Islam karena banyak menggunakan riba. Hal ini berbeda dengan keuangan syariah yang pada umumnya beroperasi dengan menggunakan akad akan muamalah yang menjadi bab-bab utama dalam fikh Islam. Dengan ini para ulama dan pakar ekonomi Islam mampu menghadirkan kembali sosok keuangan Islam, serta menghilangkan keraguan di kalangan umat Islam akan bahaya riba.
Kebutuhan akan ekonomi syariah dewasa ini telah di pandang sebagai jawaban atas keresahan di kalangan umat Islam, dan sebagai implementasi dari syariat Islam, Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya agama Islam dirasakan perlu untuk menyelenggarakan suatu bentuk sistem keuangan yang berbasis syariah hal ini didasarkan atas mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan setiap muslim wajib untuk menjalankan syariat walaupun dewasa ini di Indonesia  masih banyak menggunakan sistem keuangan dan lembaga-lembaga keuangan konvensional yang menggunakan riba. Kesadaran akan mewujudkan lembaga keuangan yang berbasis syariahpun di rasakan sangat perlu seiring dengan masa kebangkita Islam saat ini, walaupun disana sini masih terkendala, terutama keuangan pengetahuan tentang sistem keuangan syariah (perbankan syariah) hal ini dapat dilihat dari masih sedikitnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengkaji dan mengajarkan sistem keuangan syariah, rata-rata lembaga-lembaga pendidikan dewasa ini sebagian besar masih terbungkam dalam perekonomian konvensial yang menggunakan riba.
IKIP Veteran Semarang sebagai salah satu lembaga pendidikan dan perguruan tinggi pencetak tenaga pendidik yang diharapkan mampu merubah wawasan, pengetahuan dan pembentukan generasi bangsa mempunyai andil yang besar dalam usaha perubahan konsepsi ini, terutama lulusan IKIP Veteran Semarang yang notabene mencetak calon-calon pendidik yang diharapkan mampu mendidik generasi bangsa kearah yang lebih baik, maka sewajarnya bila lulusan IKIP Veteran Semarang mempunyai pengetahuan tentang ekonomi syariah (Khususnya bagi yang jurusan ekonomi).
Diharapkan pula para pengajar ekonomi dapat memberikan suatu pengetahuan konsep perekonomian sesuai dengan syariah Islam kepada peserta didiknya, bahwasannya ada alternative jalan yang mestinya ditempuh dalam menapaki kehidupan yang lebih diridhoi Allah SWT yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan ummat.
)* M. Umer Chapra & Tariqullah Khan. 2008. Regulasi & Pengawas Bank Syariah. Jakarta: PT Bumi Aksara, p.30.